Ingat ingat masa sekolah dulu, orangtuaku selalu menekankan pentingnya belajar di sekolah, masuk ke sekolah favorite, serta penguasaan bahasa asing. SMA dan kuliah juga wajib jurusan ilmu pasti (jaman dulu A1).
Semua dilakoni aku dan kedua saudaraku dengan pemahaman bahwa itu hal yang sangat wajar dan menjadi kewajiban yang “wajar”. Padahal jujur saja, sebenarnya selain yang bahasa asing dan belajar menari, yang lainnya kulakoni setengah terpaksa.
Aku merasa ga gape banget matematika, ga tertarik dengan fisika, apalagi kimia. Celakanya, di SMAku yang termasuk unggulan, mata pelajaran itu yang menjadi focus utama. Lebih malang lagi, di SMAku ini, masuk jurusan Bilogi (A2) itu dipandang sbg “second class citizen”, apalagi masuk Sosial (A3) yang hanya ada satu kelas dan muridnya bisa dihitung pakai jari, kebanyakan untuk murid2 pindahan. Menjadi bahan pembicaraan yang seru saat kenaikan kelas 2 SMA, dimana nilai2 siswa menentukan boleh tidaknya masuk ke jurusan A1, kalau kurang dikit ke A2, kurang banyak ya ke A3. Seingatku, sangat sedikit prosentasenya yang memilih karena benar2 suka, kebanyakan karena ditentukan oleh nilai (baca :kemampuan). Stigma yang ada, kalau masuk A3 berarti ga pinter. Nasibku sendiri, dengan nilai yang ngepas, boleh memilih jurusan manapun. Namun walaupun aku sangat berminat pada bidang biologi maupun bahasa, I just “following the crowd” masuk ke A1. Entah karena “kewajiban “ dari orangtua, atau karena agar kalau A1 nanti UMPTNnya bisa lebih banyak pilihan, boleh ikut yg IPA dan IPS (kalau A3 hanya boleh IPS aja), atau yang terakhir ini …..karena gengsi.
Dengan masa masa yang menyiksa dan nilai yang tidak dapat dibanggakan, akhirnya sedikit “pencerahan” itu datang, pas aku dapat kesempatan mencicipi pendidikan di Australia slm setahun. Sebelum masuk SMA tersebut aku diwawancarai, ditanya ingin menjadi apa, ingin masuk jurusan apa di universitas nanti. Setelah menjawab aku pengen masuk kedokteran (huahaha, jawaban “wajib”), mereka memilihkan mata pelajaran matematika basic, biologi dan kimia. Saat itu aku menjawab bahwa aku harus belajar fisika dan matematika aljabar/trigonometri. Penjelasan mereka sungguh mengejutkan : “jika ingin melanjutkan kedokteran, mengapa harus belajar fisika dan matematika yang lebih teknis?”.Dengan susah payah aku menjelaskan bahawa kembali ke kelas 3 SMA di indo nanti, aku harus mengikuti pelajaran tersebut dan ujian masuk universitas juga akan mencakup mata pelajaran tersebut. Untungnya pihak sekolah memaklumi system yang berbeda ini, dan mengijinkanku mengikuti pelajaran yg “wajib” tersebut. Namun mereka menjelaskan bahwa system mereka mengarahkan pemilihan mata pelajaran berdasarkan minat dan jurusan lanjutan yg nanti akan diampil di universitas. Seorang murid yang ingin menjadi desaigner, tidak perlu susah payah ikut materi fisika-kima. Byuh, sungguh indahnya andai sekolah SMAku di indo begitu juga. Ga perlu membuang energi , waktu plus stress dgn bahan2 pelajaran yang tidak menjadi minat, atau tidak sesuai bakat. Ga perlu malu bodoh di fisika, namun gape di bahasa, atau unggul di kimia, namun nilai hapalannya hopeless. Aku jadi ingat temanku sekelas yang sangat sangat jago matematika dan kimia, namun nilai Bahasa Indonesianya lima, dan ditertawakan sekelas. Jadi ingat guru fisikaku di SMA yang menangis karena aku lolos UMPTN, karena dia kawatir dengan nilai fisikaku yang 3 (bahkan orangtuaku pun menangis sedih saat nilai fisika kimiaku 3). Atau teman SDku yang sangat jago menggambar, namun buruk di mata pelajaran matematika, sehingga selalu menjadi sasaran kemarahan sang guru.
Pengalaman dengan pendidikan tersebut sangat mirip dengan Ilustrasi bacaan bersumber dari Chuck Swindoll dalam bukunya “Standing Out” mengenai pelajaran wajib bagi para binatang : lari,memanjat,berenang, dan terbang. Supaya lebih mudah mengaturnya, setiap binatang harus melakukan kegiatan itu. Bebek sangat pintar berenang. Namun ia hanya pas pasan dalam aktifitas terbang, apalagi lari. Karena larinya jelek, maka bebek harus berhenti berenang dan tetap tinggal di sekolah untuk berlatih lari. Akibatnya, selaput kaki bebek luka,sehingga nilai renangnya tidak begitu bagus lagi.Kelinci yang mula mula berada di puncak prestasi dalam latihan lari, tetapi otot kakinya menjadi kram karena harus menaikkan nilai berenangnya. Tupai ahli memanjat, tetapi dia frustasi dalam kelas terbang karena guru menyuruhnya melayang dari tanah ke atas, bukan dari atas pohon ke bawah seperti yang mahir dilakukannya. Ia mengalami kejang kaki karena latihan terlalu keras. Karena itu tupai hanya mendapat nilai C dalam memanjat dan D dalam pelajaran lari. Burung rajawali adalah anak bermasalah dan harus berdisiplin dengan keras karena tidak mau mengikuti aturan kebanyakan. Dalam kelas memanjat,ia memang mengalahkan semua binatang untuk mencapai tujuan, tetapi ia memaksakan caranya sendiri untuk sampai kesana.
Setiap manusia, adalah unik, demikian juga anak anak. Ada yang tertarik pada science, ada yang lebih suka belajar bahasa. Ada yang suka mainan otomototif, ada yang lebih memilih game computer. Ada yang gampang bergaul, ada yang pemalu.Sesungguhnya jika para orangtua mau belajar memahami dan menerima perbedaan tersebut, akan membesarkan anak yang lebih percaya diri, dan nyaman dengan kondisinya, dan lebih penting lagi, dapat menghargai dirinya sendiri.
Aku sendiri berkeinginan membesarkan anakku tanpa menjejalinya dengan hal hal “wajib” yang pernah aku alami. Selain membuang tenaga, waktu, pikiran dan biaya (karena di masa itu aku harus les kesana kemari , habis uang banyak untuk memperbaiki nilai2 kimia dan fisikaku yang tetap saja hopeless) tanpa hasil yang optimal, akan lebih baik mengembangkan hal hal yang memang menjadi minat dan sesuai dengan keunikan bakatnya.
Aku belum menemukan bakat Dzaki, mungkin karena usianya juga belum 2 tahun. Namun dia suka corat coret dan bongkar2 mainan, dia juga suka mainan music. Siapa tahu seiring dengan bertambah usianya, minat dan bakatnya akan semakin kelihatan.